RSS

Ulama Nenek Moyang Indonesia Mengikuti Salafush Sholeh

Islam Masuk ke Indonesia Sejak Abad ke 1 H

Mereka mengatakan bahwa ibadah kaum muslim di negeri kita mengikuti
nenek moyang. Apakah prasangka mereka kita mengikuti kaum Hindu atau
Buddha ? Itu sama saja mereka terhasut pencintraan yang dilakukan
kolonialisme Belanda.

Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya "API SEJARAH" jilid 1 mengungkapkan.

Dengan sengaja, sejarawan Belanda pada masa pemerintah kolonial
Belanda membuat periodisasi sejarah Indonesia, memundurkan waktu
masuknya agama Islam berada jauh di belakang atau sesudah keruntuhan
kekuasaan politik Hindu atau Keradjaan Hindoe Majapahit.

Dengan berdasarkan periodisasi itu, menjadikan Islam baru dibicarakan
setelah Keradjaan Hindoe Majapahit runtuh pada 1478 M. Tidak
dijelaskan pula bahwa sejak abad ke 7 M agama Islam sudah mulai
didakwahkan ajarannya oleh para wirauswasta (pedagang) di Nusantara
Indonesia. Ditambahkan, runtuhnya Keradjaan Hindoe Madjapahit akibat
serangan dari Keradjaan Islam Demak yang dipimpin Panembahan Fatah.
Mengapa demkian ?

N.A. Baloch menjawab strategi pemerintah colonial Belanda, anti Islam
dan bermotivasi divide and rule atau pecah belah untuk dikuasai
melalui salah satunya penulisan sejarah. Oleh karena itu, dalam
penulisan sejarah Indonesia bertolak dari pandangan Hindoe Sentrisme
atau dari Neerlando Sentrisme. Lebih mengutamakan sejarah Hindu Buddha
atau sejarah Belanda di Indonesia. Islam yang dijadikan dasar gerakan
perlawanan terhadap penjajahan Protestan Belanda, dinegatifkan analis
sejarahnya.

Agama Islam telah masuk ke Nusantara jauh sebelum Radja Hindoe
melakukan konversi agama menjadi penganut Islam. Pada saat itu,
sekaligus terjadi pembentukan kekuasaan politik Islam atau kesultanan.
Istilah kerajaan berubah pula menjadi kesultanan. Tidak lagi disebut
raja melainkan sebagai sultan. Raja tersebut tidak kehilangan
kekuasaannya dan tetap diakui oleh mayoritas rakyatnya sebagai sultan
yang sah.

Peristiwa ini menurut J.C. van Leur terjadi karena political motive.
Motif politik atau motivasi kekuasaan yang diwujudkan dengan konversi
agama masuk ke Islam sebagai bukti atau pengakuan para raja saat itu
bahwa Islam telah menjadi arus bawah yang kuat dan berpengaruh besar
pada lapisan masyarakat bawah. Dampaknya membentuk pandangan para
penguasa saat itu untuk menyelamatkan diri dari bencana banjir
Imperialisme Barat kecuali dengan berpihak kepada agamanya rakyat,
yakni Islam.

Begitu pula pendapat W.J. Wertheim bahwa konversi agama memeluk agama
Islam yang dilakukan oleh kalangan boepati hingga Radja di Nusantara
Indonesia, karena pengaruh rasa tidak aman dari ancaman imperialisme
Katolik Portugis maupun imperialisme Protestan Belanda atau Inggris.

Hubungan niaga Timur Tengah, India dan Cina serta Nusantara Indonesia,
walaupun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah wafat, 11H/632
M, namun hubungan niaga tetap berlangsung antara Khulafaur Rasyidin,
11-41 H / 632-661 M dengan negara-negara non muslim di luar Jazirah
Arabia termasuk dengan Nusantara Indonesia. Seperti yang disejarahkan
pada masa khalifah ketiga, Ustman bin Affan, 24-36 H/644-656 M
mengirim utusan niaga ke Cina. Kesempatan kunjungan utusan niaga ke
Cina, dimanfaatkan untuk mengadakan kontak dagang dengan wirausahawan
di Nusantara Indonesia. Keterangan sejarahnya terdapat dalam buku
Nukhbat ad-Dahr ditulis oleh Syaikh Syamsuddin Abu Ubaidillah Muhammad
bin Thalib ad Dimsyaqi yang terkenal dengan nama Syaikh Ar Rabwah,
menjelaskan bahwa wirausahawan Muslim memasuki ke kepulauan ini
(Indonesia) terjadi pada masa khalifah Utsman bin Affan, 24-36 H /
644-656 M.

Dari sumber lain, JC van Leur dalam Indonesian Trade and Society
dengan mendasarkan sumber berita Cina dari Dinasti Tang, 618-907 M
menyatakan bahwa pada 674M di pantai barat Sumater telah terdapat
settlement (hunian bangsa Arab Islam) yang menetap di sana.

Demikian pula berdasarkan keterangan Drs. Ibrahim Buchari, berdasarkan
angka tahun yang terdapat pada nisan seorang ulama, Syaikh Mukaiddin
di Baros, Tapanuli yang bertuliskan 48 Hijriah atau 670 Masehi, maka
dapat dipastikan Agama Islam masuk ke Nusantara Indonesia terjadi pada
abad ke 7 Masehi atau pada abad ke 1 Hijriyah.

Begitulah hasil pengkajian Ahmad Mansur Negara, jelaslah bahwa ulama
terdahulu kita bukanlah kaum hindu atau budha.

Begitupula kajian Tim Kajian Kesultanan Majapahit dari Lembaga Hikmah
dan Kebijakan Publik (LHKP) Pengurus Daerah Muhammadiyah Yogyakarta
untuk melakukan kajian ulang terhadap sejarah Majapahit. Setelah
sekian lama berkutat dengan beragam fakta-data arkeologis, sosiologis
dan antropolis, maka Tim kemudian menerbitkannya dalam sebuah buku
awal berjudul Kesultanan Majapahit, Fakta Sejarah Yang Tersembunyi'.

Buku ini hingga saat ini masih diterbitkan terbatas, terutama
menyongsong Muktamar Satu Abad Muhammadiyah di Yogyakarta beberapa
waktu yang lalu. Sejarah Majapahit yang dikenal selama ini di kalangan
masyarakat adalah sejarah yang disesuaikan untuk kepentingan penjajah
(Belanda) yang ingin terus bercokol di kepulauan Nusantara.

Dalam konteks Majapahit, Belanda berkepentingan untuk menguasai
Nusantara yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Untuk itu,
diciptakanlah pemahaman bahwa Majapahit yang menjadi kebanggaan
masyarakat Indonesia adalah kerajaan Hindu dan Islam masuk ke
Nusantara belakangan dengan mendobrak tatanan yang sudah berkembang
dan ada dalam masyarakat.

Apa yang diungkapkan oleh buku ini tentu memiliki bukti berupa fakta
dan data yang selama ini tersembunyi atau sengaja disembunyikan.
Beberapa fakta dan data yang menguatkan keyakinan bahwa kerajaan
Majpahit sesungguhnya adalah kerajaan Islam. Cuplikan info silahkan
baca tulisan pada
http://misteri-us.blogspot.com/2010/11/kesultanan-majapahit-fakta-sejarah-yang.html

Semakin jelaslah bahwa ulama terdahulu kita bukanlah kaum hindu atau buddha.

Syaikh Nawawi Al Bantani
Kita, orang tua kita, kakek, buyut kita menjadi muslim merupakan
peran salah satunya adalah para Wali Songo yang merupakan Wali Allah
generasi kesembilan. Begitupula peran ulama-ulama terdahulu kita
antara lain, Syekh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, adalah
ulama Indonesia bertaraf internasional, lahir di Kampung Pesisir, Desa
Tanara, Kecamatan Tanara, Serang, Banten, 1815.

Sejak umur 15 tahun pergi ke Makkah dan tinggal di sana tepatnya
daerah Syi'ab Ali, hingga wafatnya 1897, dan dimakamkan di Ma'la.
Ketenaran beliau di Makkah membuatnya di juluki Sayyidul Ulama Hijaz
(Pemimpin Ulama Hijaz). Daerah Hijaz adalah daerah yang sejak 1925
dinamai Saudi Arabia (setelah dikudeta oleh Keluarga Saud).

Diantara ulama Indonesia yang sempat belajar ke Beliau adalah
Syaikhona Khalil Bangkalan dan Hadratusy Syekh KH Hasyim Asy'ari.
Kitab-kitab karangan beliau banyak yang diterbitkan di Mesir,
seringkali beliau hanya mengirimkan manuscriptnya dan setelah itu
tidak mempedulikan lagi bagaimana penerbit menyebarluaskan hasil
karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya. Selanjutnya kitab-kitab
beliau itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh
pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand, dan juga
negara-negara di Timur Tengah. Begitu produktifnya beliau dalam
menyusun kitab (semuanya dalam bahasa Arab) hingga orang menjulukinya
sebagai Imam Nawawi kedua. Imam Nawawi pertama adalah yang membuat
Syarah Shahih Muslim, Majmu' Syarhul Muhadzdzab, Riyadlush Shalihin,
dll. Namun demikian panggilan beliau adalah Syekh Nawawi bukan Imam
Nawawi.

Nihayatuz Zain
Jumlah kitab beliau yang terkenal dan banyak dipelajari ada sekitar 22
kitab. Beliau pernah membuat tafsir Al-Qur'an berjudul Mirah Labid
yang berhasil membahas dengan rinci setiap ayat suci Al-Qur'an. Buku
beliau tentang etika berumah tangga, berjudul Uqudul Lijain
(diterjemahkan ke Bahasa Indonesia) telah menjadi bacaan wajib para
mempelai yang akan segera menikah. Kitab Nihayatuz Zain sangat tuntas
membahas berbagai masalah fiqih (syariat Islam). Sebuah kitab kecil
tentang syariat Islam yang berjudul Sullam (Habib Abdullah bin Husein
bin Tahir Ba'alawi), diberinya Syarah (penjelasan rinci) dengan judul
baru Mirqatus Su'udit Tashdiq. Salah satu karya beliau dalam hal kitab
hadits adalah Tanqihul Qoul, syarah Kitab Lubabul Hadith (Imam
Suyuthi). Kitab Hadits lain yang sangat terkenal adalah Nashaihul
Ibad, yang beberapa tahun yang lalu dibahas secara bergantian oleh
Alm. KH Mudzakkir Ma'ruf dan KH Masrikhan (dari Masjid Jami Mojokerto)
dan disiarkan berbagai radio swasta di Jawa Timur. Kitab itu adalah
syarah dari kitabnya Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani.

Contoh ulama nenek moyang kita lainnya yang menolak paham kelompok
Wahabi yang berlandaskan pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah adalah Syeikh
Ahmad Khatib Al-Minangkabawi

Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi adalah ulama besar Indonesia yang
pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram,
sekaligus Mufti Mazhab Syafi'i pada akhir abad ke-19 dan awal abad
ke-20. Dia memiliki peranan penting di Makkah al Mukarramah dan di
sana menjadi guru para ulama Indonesia.

Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi,
lahir di Koto Gadang, IV Koto, Agam, Sumatera Barat, pada hari Senin 6
Dzulhijjah 1276 H (1860 Masehi) dan wafat di Makkah hari Senin 8
Jumadil Awal 1334 H (1916 M)

Awal berada di Makkah, ia berguru dengan beberapa ulama terkemuka di
sana seperti Sayyid Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dan
Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy.

Banyak sekali murid Syeikh Khatib yang diajarkan fiqih Syafi'i. Kelak
di kemudian hari mereka menjadi ulama-ulama besar di Indonesia,
seperti
Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) ayahanda dari Buya Hamka;
Syeikh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi;
Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung, Bukittinggi,
Syeikh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang,
Syeikh Abbas Qadhi Ladang Lawas Bukittinggi,
Syeikh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki,
Syeikh Khatib Ali Padang,
Syeikh Ibrahim Musa Parabek,
Syeikh Mustafa Husein, Purba Baru, Mandailing, dan
Syeikh Hasan Maksum, Medan.

Tak ketinggalan pula K.H. Hasyim Asy'ari dan K.H. Ahmad Dahlan, dua
ulama yang masing-masing mendirikan organisasi Islam terbesar di
Indonesia, Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, merupakan murid dari
Syeikh Ahmad Khatib.

Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi
Syeikh Ahmad Khatib adalah tiang tengah dari mazhab Syafi'i dalam
dunia Islam pada permulaan abad ke XIV. Ia juga dikenal sebagai ulama
yang sangat peduli terhadap pencerdasan umat. Imam Masjidil Haram ini
adalah ilmuan yang menguasai ilmu fiqih, sejarah, aljabar, ilmu falak,
ilmu hitung, dan ilmu ukur (geometri).

Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi menyanggah beberapa pendapat Barat
tentang kedudukan bumi, bulan dan matahari, serta peredaran
planet-planet lainnya yang beliau anggap bertentangan dengan pemikiran
sains ulama-ulama Islam yang arif dalam bidang itu.

Dalam perkembangannya, pendirian ormas Nahdatul Ulama (NU) pada
hakikatnya sebagai bentuk protes terhdapap ulama di Jazirah Arab
karena pemahaman agama mereka mulai ada ketidak sesuaian dengan ajaran
agama Islam yang aslinya. Ulama-ulama NU berupaya berpegang teguh
kepada keaslian, kemurnian ajaran Islam sehingga mereka dikenal
sebagai ulama tradisional namun pada hakikatnya adalah ulama klasik
sebagaimana keaslian ajaran agama Islam.

Namun tidak kita pungkiri perlu adanya upaya penjernihan (tashfiyah),
pembersihan (tanqiyah) dari pengaruh-pengaruh diluar Islam seperti
paham Sekulerisme, Pluralisme, Liberalisme yang menuhankan kebebasan
dan paham Hedonisme yang menuhankan kesenangan. Hal ini sedikit kami
uraikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/13/2011/03/03/nu-bercerminlah/

Jadi kesimpulannya mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman
Salafush Sholeh pada kenyataannya mungkin saja hanya mengikuti ulama
Muhammad bin Abdul Wahhab atau ulama Ibnu Taimiyah. Sedangkan kita
yang dituduh mengikuti nenek moyang pada kenyataannya mengikuti
Khulafaur Rasyidin lebih awal.

Untuk itulah kita harus bersyukur atas peran para ulama terdahulu
kita. Tidaklah mungkin nusantara yang luas ini mayoritas penduduknya
menjadi muslim terjadi dalam waktu sekejap.

Wassalam


Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Syeikh 'Abdullah al-Siddiq al-Ghumari,
Syeikh Yasin al-Fadani,
Syeikh 'Abdul Fattah Abu Ghuddah,
Syeikh Ibrahim al-Ahsa'ie,
Syeikh Hasan Masysyat,
Syeikh Isma'il 'Uthman al-Zain..
رحمهم الله تعالى

0 komentar:

Posting Komentar